Mereka-mereka yang akan masuk plasa telah pula menenteng HP. Mungkin, mereka akan tukar tambah ke barang yang lebih baru, dengan segala fiturnya yang menggoda. Tetapi Rakyat Kecil kesini tidak dalam rangka itu. Rakyat Kecil masih terlalu cinta dengan N1100 yang sekarang masih setia menemani kemana pun Rakyat Kecil pergi.
Masih ditempat itu, tepatnya di sudut pintu tempat parkir yang berada diseberang apartemen Puncak Marina, di bawah rimbun bambu hias, Rakyat Kecil mendapati
seorang bapak dengan dagangannya. Sebuah jajajan tradisional, yang sepertinya, sungguh telah ketinggalan zaman.
Memandangnya, menjadikan Rakyat Kecil melemparkan ingatan kemasa lalu. Ketika kemanapun ayah pergi, pulangnya, selalu saja sebungkus bipang cap Jangkar sebagai oleh-olehnya. Sekalipun begitu, sebagai anak-anak, bukan main riangnya Rakyat Kecil. Kini, anak-anak saban hari diiming-imingi aneka jajan produk industri yang berseliweran di iklan televisi. Dengan kemasan yang menarik, dengan harga yang 500 perak sebungkus pun ada. Lengkap. Termasuk, tentu saja ada MSG sebagai penggurihnya.
Bandingkan, coba, dengan jajanan yang dijajakan bapak tua didepan Rakyat Kecil ini.
“Harganya lima ribu rupiah dua bungkus,” begitu jawab pak Sagi (55 tahun) ketika Rakyat Kecil bertanya.
Sebungkusnya berisi delapan keping tipis sejenis kripik yang dibikin dari parutan ketela ini. Tipis saja. Tak lebih dari satu milimeter.
Mahal, tentu saja, bila dibanding Biskuat, Oreo, Gerry Chocolatos dan semacamnya. Lagian, soal kemasan dan rasa si jajan kuno itu pun kalah telak.
Tetapi, samiler (begitu nama dagangan bapak tua itu dikenal) masih sering Rakyat Kecil lihat dijajakan orang dikota ini. Dan, setiap kali Rakyat Kecil bertanya asalnya, selalu saja jawabannya sama,”Saya dari Blora.”
Bapak Sagi tersenyum,”Kami memang sekampung,”terangnya sambil menghitung uang kembalian yang akan diberikan kepada seorang pembeli. “Musim hujan begini rada sepi, mas.”
Lebih lanjut ia berkata, dagangan ini tidak dibuatnya sendiri. Tetapi dari membeli keseorang juragan dikampungnya.
“Ambil dagangan dulu lalu dibayar belakangan. Begitu?” tanya Rakyat Kecil.
“Tidak, mas. Beli kontan. Lalu, kita yang muter menjajakan. Habis ndak habis ya ditanggung sendiri,” kata pak Sagi yang mengaku mempunyai tiga orang anak (perempuan semua) dan cucu satu yang juga perempuan.
“Sekali berangkat bapak bawa dagangan seberapa?” Rakyat Kecil bertanya lagi.
“Ya ndak mesti, mas. Tergantung berapa kita punya duit untuk kulakan,” jawab pak Sagi yang mengaku rata-rata seminggu sekali pulang untuk kulakan.
![]() |
Pak Sagi sedang menata dagangannya. Foto: Rakyat Kecil. |
Tetapi ketika ia bercerita telah melakoni pekerjaan ini lebih dari sepuluh tahun, tentu ada pendapatan darinya yang bisa menjadi sandaran. Sekalipun, pak Sagi bilang, ia melakukan itu di sela kegiatan rutinnya sebagai petani. Sekarang ini dikampungnya, desa Bogowanti kecamatan Ngawen, Blora (Jateng) sudah selesai musim ‘tandur’. Sambil menunggu musim panen, ia dan beberapa orang sekampungnya, ke kota untuk berjualan.
Seperti bumi, hidup juga berputar. Dalam putaran itu, dengan utun pak Sagi dkk berusaha menyusupkan agar samiler lebih familier ke lidah orang kota masa kini.
Ada, kadang, hal-hal kecil yang bisa memantik setitik motivasi didapat bukan dari para motivator yang tampil di televisi. Dan sekarang, setelah pertemuan sore itu, Rakyat Kecil sedang mencari-cari; adakah pelajaran yang bisa dipetik dari pak Sagi? (RK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar